Kecerdasan Buatan: Ancaman bagi Tim Pelayanan Pelanggan?

Seiring dengan kemajuan zaman dan kemajuan teknologi yang eksponensial, kecerdasan buatan (artificial intelligence—AI) menjadi salah satu pilar utama transformasi bisnis. Dari analisis data hingga otomatisasi layanan pelanggan, AI menawarkan berbagai manfaat yang tak terhitung jumlahnya. Namun, di balik manfaat ini, ada kekhawatiran yang berkembang tentang dampak AI terhadap tenaga kerja manusia. Dampak tersebut tidak, atau belum, separah yang film legenda seperti Terminator tampilkan. Namun, sudah cukup memberikan dampak signifikan terhadap kita, termasuk yang bekerja di dunia pemasaran dan pelayanan pelanggan. Artikel ini akan membahas berbagai ancaman yang bisa ditimbulkan oleh AI terhadap staf, karyawan, dan tim pelayanan pelanggan, serta bagaimana organisasi dapat menghadapinya.

Penggantian Pekerjaan dan Pengurangan Kebutuhan Tenaga Kerja

AI memiliki potensi besar untuk menggantikan pekerjaan yang sebelumnya dilakukan oleh manusia. Tugas-tugas rutin dan berulang, seperti menjawab pertanyaan pelanggan yang bersifat umum, kini dapat diotomatisasi dengan chatbot dan asisten virtual. Di Indonesia, misalnya, beberapa bank sudah mulai menggunakan chatbot untuk layanan pelanggan, sehingga mengurangi kebutuhan petugas manusia. Di luar negeri, seperti di Amerika Serikat, perusahaan asuransi menggunakan AI untuk menangani klaim sederhana, yang mengurangi jumlah tenaga kerja yang diperlukan.

Contoh lainnya adalah dalam analisis data. AI dapat menganalisis dan menginterpretasi data secara lebih cepat dan akurat dibandingkan manusia, mengurangi kebutuhan akan analis data. Di perusahaan teknologi besar seperti Google dan Amazon, AI digunakan untuk berbagai tugas analitik, yang mengurangi peran analis data manusia (Davenport, 2018).

Selain itu, AI juga dapat diterapkan dalam proses perekrutan pegawai, yang mana algoritma AI digunakan untuk menyaring resume dan melakukan penilaian awal terhadap calon karyawan. Hal ini meningkatkan efektivitas, namun dapat mengurangi peran perekrut manusia. Di Indonesia, beberapa perusahaan rintisan teknologi telah mulai mengadopsi sistem AI dalam proses rekrutmen mereka.

Perkembangan tersebut menunjukkan bahwa meski AI dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas, ia juga memiliki potensi untuk mengurangi kebutuhan akan tenaga kerja manusia, terutama dalam peran yang bersifat rutin dan analitis (Acemoglu & Restrepo, 2020). Oleh karena itu, penting bagi organisasi untuk merencanakan transisi dengan hati-hati, termasuk memberikan pelatihan ulang dan dukungan kepada karyawan yang terdampak, agar mereka dapat beradaptasi dengan perubahan dan menemukan peluang baru dalam ekosistem kerja yang semakin didominasi oleh teknologi.

Perencanaan yang adil dan komprehensif akan membantu mengurangi dampak negatif dari otomatisasi dan memastikan bahwa tenaga kerja manusia tetap memiliki peran yang berarti dalam dunia kerja yang terus berkembang.

Perubahan Keterampilan dan Tantangan Etika

Selain menggantikan pekerjaan, AI juga mengubah keterampilan yang dibutuhkan oleh tenaga kerja. Pekerjaan yang tidak dapat diotomatisasi sering kali memerlukan keterampilan yang lebih tinggi atau berbeda, seperti kemampuan untuk mengelola dan bekerja dengan teknologi AI. Perusahaan di Indonesia perlu memberikan pelatihan ulang dan pengembangan keterampilan kepada staf mereka untuk menghadapi perubahan ini. Di Jepang, perusahaan-perusahaan seperti Fujitsu telah mengambil langkah proaktif dalam menghadapi era AI dengan meluncurkan program pelatihan untuk karyawan mereka. Fujitsu, misalnya, telah mengembangkan program pelatihan berkelanjutan yang berfokus pada keterampilan teknologi informasi dan kecerdasan buatan. Program ini dirancang untuk membantu karyawan memahami dan memanfaatkan AI dalam pekerjaan mereka, serta mengembangkan keterampilan baru yang diperlukan dalam lingkungan kerja yang semakin didorong oleh teknologi (Kobayashi dkk., 2020).

AI juga memengaruhi cara kerja tim pelayanan pelanggan. Sebagai contoh, AI dapat digunakan untuk memberikan rekomendasi kepada agen layanan pelanggan manusia, meningkatkan efisiensi dan kualitas layanan. Namun, ini juga berarti bahwa agen layanan pelanggan perlu memiliki keterampilan baru untuk bekerja dengan sistem AI dan memahami bagaimana menggunakan data yang disediakan oleh AI untuk memberikan layanan yang lebih baik kepada pelanggan.

Selain itu, penggunaan AI dalam pelayanan pelanggan menimbulkan tantangan etis, seperti bias dalam keputusan yang dibuat oleh AI atau kurangnya transparansi dalam algoritma yang digunakan (Du & Xie, 2021). Isu ini dapat mengurangi kepercayaan pelanggan dan menimbulkan kekhawatiran tentang privasi data mereka. Di Eropa, regulasi yang ketat mengenai penggunaan data dan algoritma AI telah diimplementasikan untuk mengatasi masalah ini (Smuha dkk., 2021). Sementara di Indonesia, kesadaran akan pentingnya regulasi serupa mulai meningkat.

Di Indonesia, isu privasi data semakin menjadi perhatian seiring dengan meningkatnya adopsi teknologi digital. Pemerintah bersama DPR sudah menunjukkan perhatian dan tindakan terhadap isu privasi data dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).

Di sisi lain, perusahaan perlu memastikan bahwa penggunaan AI sesuai dengan standar etika dan privasi yang ketat untuk menjaga kepercayaan pelanggan. Misalnya, perusahaan dagang daring besar di Indonesia telah mulai mengambil langkah-langkah untuk melindungi data pelanggan mereka dan memastikan bahwa algoritma AI yang digunakan transparan dan adil.

Dengan memahami ancaman-ancaman ini, perusahaan dapat merencanakan strategi untuk mengatasi dampak negatif AI dan memastikan bahwa transisi ke teknologi baru ini dapat dilakukan secara adil dan bertanggung jawab. Menghadapi era AI, penting bagi perusahaan untuk tidak hanya fokus pada peningkatan efisiensi, tetapi juga pada pengembangan keterampilan staf dan menjaga etika penggunaan teknologi.